Jumat, 12 Oktober 2012

Kategori Al-Masaa'il : Politik

Kamis, 17 Juni 2010 16:24:32 WIB

Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin." Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!" Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman." Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut terhadapmu".

Sebelas Rambu Bagi Seorang Pemimpin

Rabu, 16 Juni 2010 16:14:27 WIB

Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda : "Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".

Cara Tepat Mewujudkan Kepemimpinan Yang Adil

Selasa, 15 Juni 2010 15:56:47 WIB

Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Tercermin dalam surat an-Nahl/16 ayat 89, Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitâb (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". Bahkan, Islam telah mengatur dan menjelaskan tata cara buang air. Demikian pula, Islam telah mengatur dan menjelaskan masalah perpolitikan. Islam memberikan konsep yang jelas untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan benar. Dan berikut, tulisan ini akan membahas secara ringkas, bagaimana mewujudkan kepemimpinan tersebut. Sebagaimana fenomena yang nampak di masyarakat kita, terdapat dua kubu di tengah kaum muslimin yang berjuang dan menghabiskan waktunya untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil. Kubu yang pertama, terdiri dari orang-orang yang menghalalkan politik non Islami, atau paling tidak berkecimpung di dalamnya. Kubu yang kedua, terdiri dari orang-orang yang menghalalkan darah para penguasa (pemerintahan), atau paling tidak berusaha menggulingkannya. Manakah di antara kedua kubu ini yang sesuai dengan syariat? Jika kedua kubu itu tidak sesuai dengan syariat, lantas bagaimana sikap kita?

Rapor Merah Ideologi Demokrasi

Rabu, 3 Maret 2010 15:50:56 WIB

Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!). Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam. Demokrasi merupakan pelanggaran dalam aspek akidah, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja. Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada aspek ketaatan dengan mutlak).

Prinsip Menjalin Hubungan Dengan Penguasa

Kamis, 15 Oktober 2009 22:35:01 WIB

Menurut para fuqaha kaum Muslimin, al hakim (penguasa) adalah, orang yang (dengannya terjaga) stabilitas sosial di suatu negeri, baik ia mencapai kekuasaan dengan cara yang disyariatkan atau tidak, baik kekuasaan hukumnya menyeluruh semua negara kaum Muslimin, atau terbatas pada satu negeri saja. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Para fuqaha bersepakat atas wajibnya taat kepada imam yang mutaghallib (berkuasa melalui peperangan, kudeta atau cara represif lainnya, Pent.)”. Artinya, para fuqaha telah bersepakat, bila seorang imam berhasil mencapai puncak kekuasaan dengan saif (kekerasan) dan mampu mengendalikan negara dengan kekuatannya, lantas kondisi masyarakat menjadi stabil, maka ia wajib ditaati, karena ia adalah imam dan penguasa bagi kaum Muslimin. Dan sudah diketahui, bahwa para ulama telah bersepakat wajibnya taat kepada penguasa yang ada, baik jumlah imam satu (yang menguasai seluruh negeri kaum Muslimin atau banyak (yang menguasai negeri-negeri tertentu). Sesungguhnya kaum Muslimin tidak bersatu di bawah satu pimpinan sejak masa Imam Ahmad sampai sekarang. Dan kita mengetahui, para imam dan ulama Islam telah menetapkan pada kitab-kitab mereka kewajiban untuk taat kepada penguasa, padahal mereka mengetahui kondisi riil yang ada, karena penguasa telah banyak.

Bahaya Khuruj (Melawan) Terhadap Pemerintah

Kamis, 6 Agustus 2009 22:58:15 WIB

Gerakan khuruj (pemberontakan) dan inqilab (melancarkan kudeta) terhadap suatu pemerintahan (yang sah) bukanlah sarana untuk memperbaiki masyarakat. Bahkan justru memicu timbulnya kerusakan di tengah masyarakat. Khuruj terhadap pemerintah muslim, bagaimanapun tingkat kezhalimannya, merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus Sunnah (Wal Jama'ah). Ada dua macam bentuk khuruj, (1). Khuruj dengan memanggul senjata (2). Khuruj dengan perkataan dan lisan. Mereka yang selalu memunculkan perpecahan, pertikaian, dan pergolakan terhadap pemerintahan muslim, pada hakikatnya telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan tersebut. padahal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar, sebagaimana sabda beliau. "Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah". Renungkanlah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kecuali engkau melihat suatu kekufuran". Penuturan beliau tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi diiringi dengan keterangan "kekufuran yang sangat jelas". Lantas beliau menambahkan keterangan lebih lanjut " yang dapat engkau buktikan tentang itu di sisi Allah"

First  Prev  1  2  3  4  5  Next  Last

Fikih Hudud

Kategori Ahkam : Hudud

Sabtu, 29 September 2012 11:15:24 WIB


FIKIH HUDUD

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Hâkim (Yang Maha Bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezhaliman dan kerusakan. Syariat Islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharûriyât al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari'at dan disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.

Salah satunya adalah penegakan hudûd yang menjadi salah satu keistimewaan ajaran Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluknya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: hudûd berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.[1]

1. PENGERTIAN HUDUD
Hudûd adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya.[2] Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudûd Allah Azza wa Jallaadalah perkara-perkara yang Allah Azza wa Jallalarang melakukan atau melanggarnya [3] .

Menurut syar’i, istilah hudûd adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. [4]

2. DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (Jarîmah al-Hudûd)
Kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya [5]

Dengan demikian Hudûd meliputi tujuh jenis:
1. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri.
3. Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan)) untuk menjaga akal.
4. Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga harta.
5. Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa.
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.
8. Ta'zîr. [6]

3. HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD.
Hudûd disyaria'tkan untuk kemaslahatan hamba dan memiliki tujuan yang mulia. Di antaranya adalah:

a. Hukuman bagi orang yang berbuat Siksaan bagi orang yang berbua kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya, maka ia akan jera untuk mengulangi dan dapat mendorongnya untuk istiqamah serta selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

b. Mencegah orang lain agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengumumkan had dan melakukannya di hadapan manusia.

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nûr/24:2). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa di antara hikmah hudûd adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan mencegah orang lain agar tidak terjerumus padanya; serta pensucian dan penghapusan dosa.[7]

c. Hudûd adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Ketika di sekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma'rûf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah Azza wa Jallaakan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman di dunia, maka hukuman itu adalah kafarah (penghapus dosanya). Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi oleh Allah Azza wa Jallakesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah Azza wa Jalla; kalau Dia menghendak,i diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki, disiksa-Nya.” [Muttafaqun ’alaih: Fat-hul Bâri I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan an-Nasâ’i 7/148]

d. Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.

e. Menolak keburukan, dosa dan penyakit pada masyarakat, karena apabila kemaksiatan telah merata dan menyebar pada masyarakat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantinya dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudûd. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah Azza wa Jalla merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[ar-Rûm/30:41]

Sehingga Rasulullah bersabda:

لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا

Dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih dicintai bagi penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama tiga puluh hari.” [Hasan ; Shahîh Ibnu Mâjah no; 2057, Ibnu Mâjah 2/848 no : 2538, an-Nasâ’I 8/76).[8]

4. SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD.[9]
Penerapan Hudûd tidak dilakukan tanpa empat syarat:

1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3. Pelaku kejahatan mengetahui larangannya.
4. Kejahatannya terbukti dan bahwa ia melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.

5. HUKUM MENEGAKKAN HAD
Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma' serta dituntut qiyas yang shahîh.[10]

Dalil al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

Dalil Sunnah di antaranya adalah hadits Ubâdah bin Shâmit yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ

“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah Azza wa Jallakepada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecaman orang yang suka mencela mempengaruhi kamu (dalam menegakkan hukum-hukum) karena Allah Azza wa Jalla.” [Hasan: Shahîh Ibnu Mâjah No. 2058 dan Ibnu Mâjah No. 2540]

Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.

6.TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJA HIJAUKAN
Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimeja hijaukan, maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma yang mengatakan bahwa kaum Quraisy sangat dipusingkan ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang melakukan pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang mau berbicara tentang hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah Azza wa Jalla?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya) dan bila orang miskin mencuri, mereka tegakkan had padanya. Demi Allah Azza wa Jalla, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad[11] memotong tangannya.” [Muttafaqun ’alaih][12] ,

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah mengingkari orang yang memberi syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah Azza wa Jalla, malaikat dan semua manusia menimpanya [13].

7. PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudûd, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab di masa kerasulan, beliaulah yang melaksanakannya. .Demikian pula para Khalifahnya sepeninggal beliau Shallalahu alalaihi wa sallam . Rasulullah pernah juga mengutus Unais Radhiyallahu anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya :

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang ini, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” [HR al-Bukhâri no. 2147]. Demikian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Mâ'iz, dengan menyatakan :

اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ

"Bawalah ia dan rajamlah!" [HR al-Bukhâri no. 6815].

Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezhaliman, maka wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. [14]

8. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD
Dalam penerapan hukuman had terhadap wanita sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari'at untuk lelaki juga berlaku untuk wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu'amalah ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:

a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
c. Tangannya di tahan (diikat) hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. [15]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak, maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki. [16]

Demikianlah selintas permasalahan hudûd dalam Islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari'at Islam. Wabillâhi taufîq.

Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Mulakhash al-Fiq-hi 2/521 menukil dari Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi' 7/300).
[2]. Fat-hu Dzi al-Jalâl wa al-Ikrâm Bi Syarhi Bulûgh al-Marâm, Ibnu Utsaimin 5/329)
[3]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/521 dan Syarhu al-Mumti' 14/207)
[4]. Yarhu al-Mumti' 14/206 dan lihat juga Fat-hu al-Jalâh 5/329 dan Mulakhas al-Fiqh 2/521)
[5]. Fiq-hus Sunnah 2/302
[6]. Lihat Manhaj as-Sâlikin, Syaikh as-Sa'di hal. 239-244)
[7]. Lihat Sarhu al-Mumti' 14/206
[8]. Lihat lebih lengkap lagi hikmah pensyariatan had ini dalam al-Mulakhash al-Fiqh 2/521 dan Taudhîh al-Ahkâm 6/210-211)
[9]. Lihat pembahasan ini dalam al-Mulakhash al-Fiqh 2/522-523, dan Syarhu al-Mumti' 14/207-213)
[10]. Lihat Taudhîh al-Ahkâm, Syaikh al-Bassâm 6/210 dan Fat-hu Dzil Jalâl 5/330 serta Syar-hu al-Mumti' 14/208)
[11]. Lihat Fat-hu Dzil-Jalâl 5/389.
[12]. Lihat Fat-hul Bâri 12/87 No. 6788, Muslim 2/1315 no 1688, ‘Aunul Ma’bûd 12/31 No: 4351,an-Nasâ’I 7/74, Tirmidzi 2/442 no: 1455 dan Ibnu Mâjah 2/851 no: 2547)
[13]. Lihat Majmu' Al-Fatâwa 28/298
[14]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/523-524
[15]. Lihat masalah ini pada Syarhu al-Mumti' 14/220-221
[16]. Syarhu al-Mumti' 14/221

Hukum Membaca Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas


Minggu, 20 April 2008 17:04:05 WIB

HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN BAGI ORANG JUNUB, WANITA HAID DAN NIFAS


Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat



“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an.”

Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). Ad-Daruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)

Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq” [1]

Saya berkata : Hadits di atas telah diriawayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dla’if.

Imam Az-Zaila’i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad dan Bukhari dan lain-lain telah melemahkan hadits ini dan Abu Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni yang benar bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) : Di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dla’if dan di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”. Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar

“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dla’if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar.

“Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’if karena : Pertama : Ada seorang rawi yang mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua : Abu Ma’syar seorang rawi yang dla’if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah.

“Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”

MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).

Saya berkata : Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk.

Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dla’if bahkan hadits terakhir maudlu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid dan nifas dan orang yang junub membaca Al-Qur’an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid)”

Shahih riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu’minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-Qur’an dan tidak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’an. Karena kalau membaca Al-Qur’an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya. Menurut ushul “mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.

Ketiga : Hadits Aisyah.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]

Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan lain-lain imam tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur’an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di dalamnya berisi ayat Al-Qur’an sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Hadits yang mulia inipun dijadikan dalil tentang bolehnya orang yang junub membaca Al-Qur’an. Karena sudah barang tentu orang-orang kafir tidak selamat dari janabah, meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka yang didalamnya terdapat firman Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan tidak mengapa bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’an ketika janabah?

Saya jawab : Hadits yang dimaksud tidak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’an selain janabah:

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa’i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 dan 124), Ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy dan Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan oleh jama’ah ahli hadits –dan inilah yang benar- Insya Allah di antaranya oleh Syu’bah, Syafi’iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-Nawawi, Al-Khathaabiy dan Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-lain.

Berkata Asy-Syafi’iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan (menguatkan)nya”. Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah yang meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua dan berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas. Oleh karena itu hadits ini kalau kita mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak ragu lagi tentang dla’ifnya dengan sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini telah tua dan berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau hasan)!. Selain itu hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas membaca Al-Qur’an, karena semata-mata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak berarti beliau melarangnya sampai datang larangan yang tegas dari beliau. Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’if tentunya lebih tidak mungkin lagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil!

Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur’am dalam keadaan suci (berwudlu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini.

“Artinya : Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda : ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]

[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]
_________
Footnotes
[1]. Saya nukil dari Baihaqiy dengan ringkas yang menukil dari Bukhari
[2]. Adz-Dzikra adalah salah satu nama dari nama-nama Al-Qur’an

Sumber : Almanhaj.or.id
Posting : Hilmi Husada